PEMATANGSIANTAR – Di Simalungun tidak ada tanah adat/tanah ulayat, tanah di Simalungun merupakan milik Tujuh Kerajaan yang ada di Simalungun.
Demikian dikatakan Dr.Sarmedi Purba SPOG Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pemangku Adat dan Cendikiawan Simalungun (DPP-PACS) kepada wartawan Senin (24/3/2025).
Dr.Sarmedi Purba mengatakan sejak dahulu tanah di wilayah Kerajaan-kerajaan Simalungun adalah tanah milik partuanon yaitu tanah swapraja (otonomi) tujuh kerajaan-kerajaan Simalungun sesuai realisasi perjanjian pendek yang ditandatangani raja-raja Simalungun pada awal abad ke20.
“Tanah ulayat contohnya ada di Minangkabau bukan di Sumatera Timur, disini tidak ada tanah ulayat tapi tanah raja/partuanon,” tegas Dr.Sarmedi Purba.
Dr.Sarmedi Purba mengatakan pengertian tanah ulayat (tanah adat) diberikan Unesco untuk melindungi suku terpencil tertentu yang tidak masuk kategori penduduk kerajaan bukan tanah kerajaan/negara sebelum PD II (indigenious people).
Contohnya Nomaden di Eropa, suku Badui di Jawa Barat, suku anak dalam di Jambi.
Dengan demikian jika suku anak dalam disamakan dengan Partuanon Simalungun adalah merendahkan partuanon/raja-raja Simalungun yang sudah diakui Belanda memiliki sistim pemerintahan yang beradab yang sudah menggunakan sistim pemerintahan pada masa kolonial modern sesuai politik etik Belanda awal abad 20 ujar Dr.Sarmedi Purba SPOG.
Dr.Sarmedi Purba SPOG tegas mengatakan kesimpulannya tidak ada tanah adat/ulayat di Simalungun dan tuntutan tanah ulayat atau tanah adat di Simalungun akan menghambat pembangunan khususnya industrialisasi di daerah ini karena tanah adat atau ulayat berpotensi menjadi lahan mangkrak dan tidak produktif karena berpotensi jadi lahan sengketa antara masyarakat dan struktur ulayat.
“Untuk membangun Indonesia dibutuhkan lahan yang statusnya jelas untuk mengundang pemodal membangun industri yang menciptakan lapangan kerja sesuai dengan program Presiden Prabowo Subianto menuju Indonesia Maju yang makmur dan merata ujar Dr.Sarmedi Purba SPOG,”katanya.
Pada kesempatan tersebut Dr.Sarmedi Purba memaparkan bahwa dalam Permen ATR Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat pasal 3 disebutkan bahwa Pelaksanaan Hak Ulayat oleh masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak dilakukan dalam hal bidang tanah:
a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah;
b. merupakan bidang tanah yang telah digunakan sebagai fasilitas umum/fasilitas sosia
c. merupakan bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang
berlaku; dan atau
d. tanah swapraja dan tanah bekas swapraja yang telah dihapuskan oleh Ketentuan Konversi dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (Hen)