SIMALUNGUN, SUMUT – Forum Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang terdiri dari DPK JAMAN Kabupaten Simalungun, SENADA INSTITUTE, dan GEMAPSI (disebut “PARA PENGADU”) secara resmi menyampaikan Pengaduan Masyarakat (Dumas) atas Dugaan Perbuatan Melawan Hukum terkait alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Dumas bernomor: 01/Dumas/VIII/2025 tertanggal 20 Agustus 2025 ini telah dilayangkan kepada Menteri Kehutanan RI, Kepala Kepolisian RI (Kapolri), dan Gubernur Sumatera Utara. Langkah ini diambil setelah Para Pengadu menilai ada kelalaian penindakan dari institusi terkait di daerah.
Pengaduan ini berfokus pada kawasan hutan di Nagori Bosar Nauli, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, yang secara administratif berada dalam wilayah Kawasan Hutan Register II Sibulubotulotung.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, kawasan yang merupakan fungsi Hutan Produksi Terbatas (HPT) tersebut telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Para Pengadu menyebut, berdasarkan data dan surat peringatan yang mereka miliki dari instansi kehutanan, pengelolaan lahan sawit di kawasan hutan itu diduga dilakukan oleh:
- CV. JAYA ANUGRAH
- KELOMPOK TANI A.N KOPERASI DOS ROHA
- OKNUM PANGULU (Kepala Desa) Nagori Buntu Turunan berinisial RN
”Kami menduga telah terjadi alih fungsi Kawasan Hutan dengan fungsi Hutan Produksi Terbatas menjadi perkebunan kelapa sawit. Lahan yang seharusnya dilindungi sebagai HPT, kini sudah menjadi kebun sawit yang merugikan negara dan mengancam lingkungan,” ujar Ketua Gemapsi Anthoni Damanik.
Dalam surat Dumas, Para Pengadu menyertakan bukti berupa surat-surat yang diterbitkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatera Utara melalui UPTD KPH Wilayah II Pematangsiantar.
Salah satunya adalah Surat Peringatan Nomor: 400.7.22.1/344/UPTD KPH WIL II/III/2025 tanggal 13 Maret 2025. Surat tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa kegiatan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin yang sah telah terjadi, dan meminta Pangulu Nagori Bosar Nauli untuk menghentikannya.
Surat KPH Wilayah II itu juga menegaskan bahwa kegiatan tersebut dilakukan tanpa adanya perizinan yang sah dari pejabat berwenang dan bahwa pelakunya harus dikenakan sanksi sesuai perundang-undangan kehutanan yang berlaku.
”Fakta bahwa KPH Wilayah II sudah menerbitkan surat peringatan dan pemberitahuan, menunjukkan bahwa perbuatan melawan hukum ini sudah diketahui. Namun, sayangnya persoalan ini tidak kunjung ditindaklanjuti secara pidana dan terus berlangsung,” tegasnya.
Atas dasar dugaan pembiaran dan kelalaian penyelesaian persoalan, Para Pengadu mengajukan beberapa tuntutan penting kepada Pemerintah Pusat:
- Membentuk Satuan Tugas (Satgas): Meminta Menteri Kehutanan RI bekerja sama dengan Kepala Kepolisian RI untuk segera membentuk Satgas guna menangani dan menindak tegas perbuatan melawan hukum dalam alih fungsi hutan di Simalungun.
- Evaluasi Pejabat Daerah: Meminta Gubernur Sumatera Utara untuk segera mengganti Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dan Kepala UPTD KPH Wilayah II. Keduanya dinilai lalai dan tidak bertanggung jawab dalam menyelesaikan persoalan ini, serta mendesak agar dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja mereka.
”Kami menyimpulkan bahwa persoalan ini tidak dapat dituntaskan oleh instansi terkait di tingkat pemerintah daerah karena terbukti sampai saat ini kegiatan ilegal di kawasan hutan masih tetap berlangsung. Oleh karena itu, kami berharap institusi tingkat pusat turun tangan langsung,” tutupnya, menekankan pentingnya penegakan hukum untuk menjaga kelestarian kawasan hutan sesuai UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan regulasi turunannya. (ArD)