SIMALUNGUN – Konflik agraria yang kembali memanas antara warga Sihaporas dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) disikapi oleh tokoh Simalungun, Irjen Pol (Purn) Wagner Damanik.
Dalam analisisnya, Wagner Damanik menegaskan bahwa klaim sebagian kelompok masyarakat Sihaporas atas konsesi TPL sebagai Hutan Adat mereka adalah tidak berdasar secara hukum dan bertentangan dengan kearifan lokal Simalungun. Konflik agraria ini, yang baru-baru ini menimbulkan korban di kedua belah pihak, dinilai Wagner Damanik telah bergeser menjadi isu nasional.
Wagner Damanik menyoroti aspek legal formal terkait pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang menjadi kunci utama klaim tersebut.
”Menurut Peraturan Menteri LHK Nomor 9 Tahun 2021 Pasal 66 ayat (2), salah satu persyaratan permohonan penetapan status hutan adat wajib melalui Peraturan Daerah (Perda) atau Keputusan Bupati/Wali Kota tentang pengukuhan MHA,” jelasnya.
Hingga saat ini, Wagner Damanik menegaskan, Hutan Adat Simalungun belum ada karena ketiadaan Perda maupun Keputusan Bupati yang mengukuhkan MHA. Ia juga merujuk pada Surat KLHK tertanggal 14 Maret 2023 yang juga menegaskan bahwa klaim MHA Sihaporas belum dapat diproses.
”Penguasaan wilayah dengan dalih Hutan Adat oleh Lamtoras hakekatnya sudah tidak berdasar lagi,” tegasnya.
Dari sisi historis dan kearifan lokal Simalungun, Wagner Damanik memaparkan bahwa wilayah Simalungun menganut sistem Kerajaan Marpitu. Dalam sistem ini, penguasaan tanah berada di tangan Raja-raja atau Partuanon yang berhak atas tanah sebagai Simada Talun atau Sipukkah Huta.
Ia menjelaskan, dalam sistem adat Simalungun, tidak dikenal adanya MHA. Bahkan, secara historis, wilayah Sihaporas merupakan pemberian Tuan Sipolha bermarga Damanik kepada Ompung Mamontang Laut Ambarita yang berasal dari Samosir.
”Pada umumnya keluarga Raja-raja termasuk Partuanon Simalungun sangat terbuka dan welcome terhadap suku pendatang, bahkan dianjurkan untuk memakai salah satu marga Simalungun,” tambahnya.
Menurutnya, jika usulan penetapan Hutan Adat diajukan, besar kemungkinan akan sulit mendapatkan persetujuan dari keluarga Kerajaan Marpitu, apalagi jika Hutan Adat tersebut diklaim dimiliki oleh pihak di luar marga Simalungun.
Menyikapi konflik yang terjadi, Wagner Damanik meminta semua pihak untuk saling menahan diri. Ia mendesak agar TPL dan masyarakat Sihaporas menghentikan segala tindakan yang berpotensi anarkis dan menghormati kearifan lokal yang sudah berkembang baik.
Ia juga mewanti-wanti adanya pihak-pihak yang mencoba mengkapitalisasi peristiwa ini demi kepentingan pribadi.
”Janganlah kearifan lokal yang sudah berjalan baik terkoyak karena pemaksaan kehendak dari kelompok tertentu yang ingin memecah belah kerukunan dan kedamaian masyarakat Simalungun,” pungkasnya, menyerukan agar masyarakat kembali pada semangat Habonaron Do Bona (Kebenaran adalah Pangkal).(ArD)