Hermanto merujuk pada surat resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyatakan dengan jelas bahwa hingga kini belum ada penetapan resmi Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Simalungun.
Hermanto menjelaskan bahwa KLHK telah mengirimkan surat kepada PPABS dan pihak lain, termasuk oknum masyarakat di Sihaporas, untuk memperjelas status tanah adat.
Surat bernomor S.211/PKTHA/PIAHH/PSL.7/2/09/2023, tertanggal 8 September 2023, menegaskan bahwa penetapan MHA hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda), sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 23 Tahun 2021.
Selain itu, dalam surat lain bernomor S.590/PSKL/PKTHA/PSL.1/3/2023, KLHK juga merespons konflik di Sihaporas dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan menyatakan bahwa belum ada Perda yang mengakui keberadaan MHA Sihaporas.
“Surat resmi dari KLHK sudah sangat jelas. Karena itu, jangan ada lagi pihak-pihak tertentu yang melakukan klaim sepihak atas tanah adat di Simalungun,” tegas Hermanto.
Hermanto mendorong semua pihak yang merasa berhak untuk mengikuti prosedur resmi. Ia juga menuding klaim sepihak ini sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap suku asli Simalungun.
“Fakta sejarah jelas, yang berhak mengklaim tanah adat adalah pemilik sejarah asli Simalungun,” tambahnya. “Jangan memutarbalikkan fakta seolah mereka menjadi korban pelanggaran HAM. Padahal kami, warga suku asli Simalungun, yang menjadi korban pelanggaran HAM mereka.”
Ia berharap penegasan KLHK ini bisa mencegah pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingan pribadi.
Senada dengan Hermanto, Ketua Gerakan Masyarakat Adat Simalungun Horisan, Sarmuliadin Sinaga, S.T., meminta oknum anggota DPR RI untuk tidak ikut campur dalam urusan ini. Ia menegaskan, hak ulayat di Simalungun secara historis hanya dimiliki oleh keturunan tujuh harajaon, yaitu marga Damanik, Sinaga, Purba Tambak, Dasuha, Purba Pakpak, Saragih Garingging, dan Dasuha.
Sarmuliadin juga menolak klaim ulayat oleh suku lain di Sihaporas. Ia khawatir jika klaim sepihak dibiarkan, akan memicu konflik horizontal.
“Jangan dibangkitkan ‘singa tidur’ di Simalungun. Kalau semua orang bisa klaim sepihak, konflik horizontal pasti muncul. Jangan karena kepentingan pendatang, Simalungun yang dikenal dengan habonaron do bona berubah jadi hiruk pikuk,” pungkasnya.(*)