Jurnalismewarga.id – JAKARTA | Menteri Perdagangan atau Mendag Zulkifli Hasan mengungkapkan penyebab harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani anjlok. Dia menyebut rendahnya harga TBS terjadi karena tangki-tangki crude palm oil (CPO) untuk kegiatan ekspor di tingkat pengusaha masih penuh.
“Untuk mengatasi permasalahan yang ada, Kemendag terus mendorong ekspor CPO agar tangki-tangki CPO kembali kosong dan TBS petani dapat diserap kembali,” tutur Zulkifli dalam keterangannya seperti dikutip pada Ahad, 10 Juli 2022.
Harga TBS di tingkat petani anjlok bahkan di bawha harga yang ditetapkan. Pekan lalu, harga TBS di beberapa daerah perkebunan sawit tak menjangkau level Rp 1.000 per kilogram.
Zulkifli lantas menemui petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Lampung di Desa Merak Batin, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan untuk menyikapi rendahnya harga ini. Dalam persamuhan itu Zulkifli mengaku telah mendapatkan gambaran situasi yang dihadapi petani sawit.
Menurut dia, persoalan utama adalah bagaimana mendorong agar TBS petani dapat terserap. Selain itu, pemerintah meminta pelaku usaha membeli TBS dengan harga paling sedikit Rp1.600 per kilogram.
“Kami ingin hasil dari sawit ini dirasakan betul manfaatnya, baik oleh petani, pengusaha, dan konsumen,” kata.
Di satu sisi untuk menjaga stabilisasi harga sawit dari hulu sampai hilir, pemerintah memutuskan untuk menaikkan kuota ekspor menjadi 1:7. Zulkifli menyebut peningkatan kuota ekspor diputuskan dalam rapat bersama lintas-instansi.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengklaim hingga saat ini ekspor minyak sawit mentah atau CPO belum lancar akibat ketersediaan kapal-kapal yang masih minim. Sekretaris Jenderal Gapki Eddy Martono melaporkan eksportir masih sulit untuk mendapatkan kapal yang akan mengangkut barang ekspor.
“Ekspotir masih kesulitan kapal. Kapal tanker semenjak larangan ekspor digunakan untuk angkut crude oil dari Rusia,” kata Eddy.
Meski pemerintah telah mendorong percepatan ekspor dengan berbagai cara, tapi masalah muncul dari sisi logistik. Ya (pemerintah) sudah mengubah dari 1:5 ke 1:7, tetapi kalau kapalnya sulit bagaimana?,” kata Eddy, mengeluh. (tempo.co).