Jurnalismewarga.id – PEMATANGSIANTAR | Draf final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali diserahkan pemerintah kepada DPR. Hal tersebut langsung menuai pro dan kontra dari publik, lantaran masih banyak pasal- pasal yang bermasalah dan cenderung mengancam HAM dan demokrasi kita. RKUHP bukanlah hal yang baru, pada tahun 2019 RKUHP telah mendapatkan penolakan besar-besaran dari publik, dan dampak dari penolakan tersebut, Presiden Joko Widodo meminta pembahasan RKUHP ditunda dan meminta untuk dikaji ulang.
Namun, saat ini pemerintah kembali menyerahkan draf RKUHP kepada DPR dengan pasal-pasal yang masih bermasalah, sehingga Kembali menimbulkan perdebatan publik. Sebagai organisasi mahasiswa yang menjadi mitra kritis pemerintah, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Pematangsiantar Santo Fransiskus dari Assisi tidak luput lupa untuk mengkritisi rencana kebijakan pemerintah tersebut.
PMKRI Pematangsiantar menilai draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang diberikan pemerintah kepada DPR masih jauh dari harapan masyarakat dan masih banyak pasal-pasal bermasalah dan tidak sesuai dengan amanat reformasi kita. Kami menilai draf RKUHP saat ini tidak dan belum layak untuk dibahas karena masih banyak pasal-pasal karet dan berpotensi bukan melindungi rakyat, tetapi mengancam dan membungkam rakyat dalam bungkus kekuasaan pemerintah.
Bila dilihat dari pasal-pasal yang ada dalam RKUHP tersebut, ada beberapa isu yang krusial yang menjadi perdebatan panjang di tengah-tengah masyarakat hingga para akademisi. Antara lain, Pasal 217 tentang Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 256 tentang Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa atau Demonstrasi, Pasal 351 tentang Penghinaan Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. Ketiga pasal atau isu krusial di atas haruslah disikapi dengan tegas agar tidak menjadi bias bagi masyarakat di negara demokrasi kita.
Dian Sany Siagian, selaku Presidium Gerakan Kemasyarakatan (PGK) PMKRI Cabang Pematangsiantar Santo Fransiskus Periode 2021-2022 menyampaikan, “bahwa kita mendukung semangat pembuatan RKUHP sebagai bentuk nasionalisme lepas dari aturan masa kolonial Belanda. Tetapi, persoalannya adalah pasal di RKUHP sangat bermasalah terutama dalam kebebasan berekspresi, bahwa RKUHP yg dibuat saat ini sarat dengan pasal karet dan tidak mencerminkan demokrasi,” ungkap Dian.
Lebih lanjut, Dian menegaskan, “membahas draf RKUHP ini adalah bentuk melegitimasi tindakan kolonial yang sewenang-wenang terhadap pihak mitra kritis pemerintah. Artinya, pemerintah bukan ingin lepas dari jejak Belanda tetapi memang punya niat dan tujuan yang bukan berpihak pada rakyat,” tambahnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Presidium PMKRI Cabang Pematangsiantar Periode 2021-2022, Saudara Edis Galingging, “RKUHP adalah usulan pemerintah dan sudah ditetapkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Tapi, kita sangat menyayangkan pasal-pasal yang ada dalam RKUHP ini, yang kami nilai belum mengakomodir tuntutan masyarakat, yang justru ingin membungkam kita dan jauh dari cita-cita dan harapan reformasi,” tegas Edis.
“Oleh karena itu, sebagai mitra kritis pemerintah, kami dari PMKRI Cabang Pematangsiantar, menolak keras pasal yang bermasalah dalam RKUHP tersebut dan meminta DPR agar meninjau Kembali pasal-pasal bermasalah yang termaktub dalam RKUHP itu dan harus berlandaskan aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis dalam mensahkan RKUHP tersebut.”
“Terutama pasal 256 yang mengatur Pawai, Unjuk Rasa, atau Demontrasi. Tentu pasal menjadi ancaman besar, terutama bagi kita sebagai mahasiswa, yang ingin menyampaikan aspirasi atau mengkritisi pemerintah di publik,” tutup Edis Galingging.(rel)