SIMALUNGUN – Konflik Sengketa lahan di Nagori Buttu Bayu, Kecamatan Silou Kahean, Kabupaten Simalungun, memanas setelah dua kubu warga saling lapor ke pihak kepolisian.
Situasi ini dinilai sebagai cerminan kegagalan Pangulu (Kepala Desa) Buttu Bayu, Sariaman Sipayung, dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai pengayom dan mediator masyarakat.
Ironisnya, saat peristiwa pertikaian yang berujung pelaporan terjadi, Pangulu Sariaman Sipayung diketahui berada langsung di lokasi kejadian dan menyaksikannya.
Ketua Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun(GEMAPSI), Anthony Damanik, menilai bahwa peran Kepala Desa sebagai garda terdepan mengayomi masyarakat memiliki landasan hukum kuat, terutama dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
”UU Desa secara jelas menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin yang paling dekat dengan rakyat, bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa dan pembinaan kemasyarakatan yang mencakup pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban. Ketika sengketa warga berujung saling lapor, ini menunjukkan fungsi mediasi dan pengayoman desa gagal terlaksana,” ujar Anthony, Jumat (24/10/2025).
Menurutnya, Pangulu memiliki tanggung jawab hukum berdasarkan Pasal 26 Ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014 untuk menyelesaikan konflik di tingkat desa sebelum naik ke ranah pidana.
Dikonfirmasi Sebelumnya mengenai insiden ini, Pangulu Buttu Bayu, Sariaman Sipayung, membenarkan bahwa ia berada di lokasi kejadian. Namun, ia mengklaim telah berupaya melakukan mediasi.
” saya sudah coba memediasi mereka, namun mereka tidak bersedia,” kata Pangulu.
Meskipun Pangulu mengklaim sudah berusaha, fakta bahwa sengketa tanah tersebut kini menjadi perkara polisi di Simalungun menjadi sorotan utama. Situasi ini mempertanyakan efektivitas intervensi dan kemampuan Pangulu dalam menegakkan ketertiban dan menemukan solusi damai di tingkat desa.(ArD)





