Jurnalismewarga.id – PEMATANGSIANTAR | Dalam sejumlah kasus yang bergulir di pengadilan, tidak jarang ditemui perseteruan antar sesama saudara. Perselisihan dimaksud biasanya menyangkut warisan peninggalan orangtua.
Seperti yang terjadi di Pematangsiantar ini, seorang pensiunan PNS bernama Tiambun Manurung, digugat oleh para saudaranya, karena serakah menguasai secara sepihak harta warisan peninggalan orang tua suaminya Alm. Fritz Siagian.
Melalui Siaran Pers, Senin (17/01/2022), Daulat Sihombing,SH,MH dari Sumut Watch mengatakan, pihaknya selaku kuasa hukum dari 14 Penggugat atas nama Elwin Siagian, Dkk melawan 2 Tergugat masing – masing : Tiambun Manurung dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Pematangsiantar dan 9 Turut Tergugat, atas nama Vitria Agustina Siagian, Dkk. Semuanya Penggugat, Tergugat I maupun Para Turut Tergugat adalah ahli waris dari Alm. Fritz Siagian/ Alm. Maria Siburian, yang semasa hidupnya tinggal di Marihat III, Pematang Marihat, Kecamatan Siantar, Simalungun dan sekarang disebut Jalan Bahkora II, Huta Pisang, Kelurahan Marihat Jaya, Kecamatan Siantar Marimbun, Pematangsiantar.
Semasa hidupnya Alm. Fritz Siagian/ Alm. Maria Siburian, memiliki sembilan orang anak, terdiri dari lima laki-laki dan empat perempuan. Tiambun Manurung adalah istri kedua dari Alm.Simon Agnes Siagian, yakni anak ketujuh dari Alm.Fritz Siagian dan Alm.Maria Siburian,
Warisan Dikuasai Sepihak.
Dulunya, Alm. Fritz Siagian dan Alm. Maria Siburian, memiliki sebidang tanah seluas +/- 400 M2, yang terletak (sekarang) di Jalan Bahkora II, Huta Pisang, Marihat Jaya, Kecamatan Siantar Marimbun, Pematangsiantar. Di atasnya berdiri satu unit rumah panggung yang dibangun sekitar tahun 1950 –an dan dijadikan sebagai tempat tinggal keluarga. Setelah Fritz Siagian meninggal dunia tahun 1983, Simon Agnes Siagian bersama istrinya Tiambun Manurung serta anak- anaknya, pindah ke rumah tersebut, dan tinggal bersama dengan ibunya, Maria Siburian.
Sekitar tahun 1995, Maria Siburian merenovasi rumah panggung peninggalan suaminya menjadi rumah gedung permanen (rumah induk), dan membangun satu unit lagi rumah semi permanen (rumah pendukung), di lokasi yang sama. Pada bulan Juli 2000 , di hadapan seluruh anak- anak dan menantunya yang masih hidup saat itu, Maria Siburian menyerahkan rumah pendukung tersebut kepada anaknya yang kedelapan, Rohinsa alias Icha Siagian. Penyerahan itu adalah bentuk “penguatan”, karena anak perempuannya itu memilih tidak kawin atau tidak menikah.
Tak berselang lama, Maria Siburian pun meninggal dunia tanggal 28 Desember 2000. Praktis, rumah induk peninggalan Alm. Fritz Siagian/ Alm. Maria Siburian diusahai dan ditempati oleh Simon Agnes Siagian dan Tiambun Manurung berikut anak- anaknya. Awalnya, rumah induk peninggalan Alm. Fritz Siagian/ Alm. Maria Siburian, dijadikan sebagai rumah perkumpulan (Dalam bahasa Batak : Jabu parpunguan) para ahli waris. Sementara, rumah pendukung yang telah diberikan kepada Rohinsa Siagian, dikelola dan diusahai sendiri oleh yang bersangkutan.
Akan tetapi, setelah Simon Agnes Siagian meninggal dunia pada Oktober 2010, secara perlahan rumah peninggalan Alm. Fritz Siagian/ Alm. Maria Siburian mulai dikuasai, dimonopoli dan dikontrol ketat oleh Tiambun Manurung. Hal itu membuat Para Penggugat tidak dapat lagi leluasa untuk menggunakan rumah warisan orangtua tersebut sebagai rumah perkumpulan. Secara perlahan pula, Tiambun Manurung mulai menyingkirkan atau membuang barang- barang lama peninggalan Alm. Fritz Siagian/ Alm. Maria Siburian seperti lemari, pakaian- pakaian dan perabotan lainnya, tanpa persetujuan dari Para Penggugat atau ahli ahli waris lainnya.
Penerbitan Sertifikat Cacat Hukum
Sekitar bulan Juni 2016, terungkap bahwa ternyata Alm. Simon Agnes Siagian dan Tiambun Manurung secara diam- diam telah mensertifikatkan tanah warisan Alm. Fritz Siagian/ Alm. Maria Siburian seluas 384 M2, lokasi berdirinya rumah induk dan rumah pendukung tersebut, yang ditandai dengan terbitnya dengan SHM No. 329/ Kel. Pematang Marihat, Surat Ukur No. I/ Pematang Marihat/ 1999, tanggal 17 Maret 1999, an. Agnes Siagian, yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Pematangsiantar.
Daulat mengatakan, Simon Agnes Siagian dan Tiambun Manurung , sepertinya dengan sengaja telah memanipulasi dan memperdaya Alm. Maria Siburian yang tidak tahu baca tulis dan ketika itu sudah berusia uzur, 82 tahun, untuk penerbitan”Surat Pernyataan Penguasaan Atas Tanah”, yang ditandatangani oleh Simon Agnes Siagian untuk, dijadikan sebagai syarat pengurusan sertifikat.
Pasca terungkapnya penerbitan SHM itu, Para Penggugat telah meminta agar Tiambun Manurung memperbaiki data kepemilikan sertifikat tersebut. Tetapi, yang bersangkutan tidak menunjukkan itikad baik. Malah sebaliknya, justru menggunakan dan menjadikan sertifikat tersebut sebagai pembenaran untuk secara sepihak mengusahai, menguasai, mengklaim dan memiliki tanah seluas 384 M2 peninggalan Alm. Fritz Siagian, berikut satu unit rumah induk dan satu unit rumah pendukung di atasnya.
Atas persoalan ini kata Daulat, 14 orang keturunan dari Alm.Fritz Siagian dan Alm.Maria Siburian, mengajukan gugatan ke PN. Pematangsiantar, dengan Perkara Nomor : 3/Pdt.G/2022 PN Pms, yang akan digelar pada 8 Februari 2020 mendatang.
Penggugat menuntut agar Majelis Hakim menyatakan tindakan Tergugat Tiambun Manurung yang menguasai secara sepihak tanah berikut rumah warisan Alm. Fritz Siagian/ Alm. Maria Siburian dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum sehingga SHM No. 329/ Kel. Pematang Marihat, Surat Ukur No. I/ Pematang Marihat/ 1999, tanggal 17 Maret 1999 an. Agnes Siagian tidak sah dan tidak berkekuatan hukum.(Red)