Jurnalismewarga.id – PEMATANGSIANTAR | Advokat Daulat Sihombing, SH,MH dan Martua Henri Siallagan,SH, selaku tim kuasa hukum Marulitua Lumban Raja, mengadukan Irene Sari M Sinaga,SH, hakim di Pengadilan Negeri (PN) Balige, ke Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung RI, dan Ketua Pengadilan Tinggi Medan.
Hakim itu diadukan karena dinilai telah bertindak melampaui kewenangan dalam memutus perkara Praperadilan Nomor : 4/Pid.Pra/2021/PN Blg, antara Marulitua Lumban Raja selaku Pemohon, dan Kepala Kejaksaaan Negeri Samosir selaku Termohon, tertanggal 20 Desember 2021. Pengaduan itu disampaikan melalui surat bernomor : 79/KA/XII/2021, tertanggal 23 Desember 2021.
Melalui siaran pers, Senin (27/12/2021), Daulat menjelaskan, ada dua poin yang menjadi dasar pengaduan ini.
Pertama, Irene Sinaga dianggap telah melampui wewenang, karena menafsirkan sendiri norma Hukum Acara Pidana menurut kepentingannya. Pada halaman 58 alinea ke satu putusan perkara tersebut , Irene Sinaga menyatakan, dalam perkara tindak pidana korupsi tidak dikenal istilah pelapor atau terlapor. Padahal, istilah pelapor dan terlapor adalah idiom baku dalam norma Hukum Acara Pidana, sebagaimana terkandung dalam Pasal 24, Pasal 25 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor : 130/PUU-XIII/2015.
Kedua, pada halaman 58 alinea ke tiga putusan itu, Irene Sari M Sinaga menyatakan, esensi Surat Pemberitahuan Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor:B-1632/L.2.33.4/Fd.1/11/2021 tertanggal 10 November 2021, yang ditujukan Kejaksaan Negeri Samosir ke Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu pemberitahuan terkait Jaksa Penyidik telah melakukan penyidikan terhadap Marulitua Lumban Raja, adalah sejalan dengan maksud dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Menurut Daulat, pernyataan ini juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Karena pada faktanya, Penuntut Umum yang dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP dan Putusan MK Nomor: 130/PUU-XIII/2015, bukan Komisi Pemberantasan Korupsi.
“melainkan adalah Jaksa yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan penetapan hakim,” ujar Daulat.
Sehingga, pernyataan Irene Sinaga yang menyamakan SPDP dengan Surat Pemberitahuan Penyidikan Nomor:B-1632/L.2.33.4/Fd.1/11/2021 tertanggal 10 November 2021 itu, tidak berdasar hukum dan menyesatkan.
Pada faktanya lagi, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Print-192/L.2.33.4/Fd.1/09/2020 tertanggal 23 September 2021, Kejaksaan Negeri Samosir telah melakukan penyidikan terhadap perkara. Namun, hingga Maruli Tua Lumban Raja ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan tersangka Nomor: PRINT-284/I.2.33.4/Fd.l/11/2021, tertanggal 10 November 2021, Kejari Samosir tidak memberikan atau menyerahkan SPDP kepada Marulitua Lumban Raja.
“Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP sebagaimana diubah dengan Putusan MK Nomor: 130/PUU-XIII/2015 yang menyatakan, dalam waktu paling lambat tujuh hari, SPDP harus diterima pelapor, terlapor, dan penuntut umum,” Kata Daulat lagi.
Atas fakta-fakta itu, Advokat Daulat Sihombing,SH,MH dan Martua Henri Siallagan,SH, meminta Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung RI dan Ketua Pengadilan Tinggi Medan, berdasarkan kewenangannya masing-masing, supaya memeriksa atau mengeksaminasi putusan hakim Irene Sari M Sinaga,SH, dalam perkara praperadilan tersebut, dan memberi sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku apabila terbukti bersalah.(RED)